Minggu, 21 Oktober 2018

20 Agustus 2017

#1
Aku berucap pada malam,
bahwa siangku kelam
Langit pun berdecak pada dukaku
Dan enggan untuk menggiring waktu

Bukan lagi pagi yang ku nanti
Hanya berharap hari cepat berganti
Menempa hati hingga kokoh
Menyulam duka dengan tawa

Terang kini tak begitu berguna
Silaunya hanya membuatku terpejam
Bertanya dan berakhir menerima
Adakah hari di mana luka akan pudar?
Ah, tapi biarlah
Biarkan siang dan malam terus berlalu
Sedangkan gelap dan terang beranjak sesukanya
Aku terima

#2
Secangkir tehku beku
Berbeda dengan kopimu
Tehku tak berujung pada seduhan
Hanya bening tak berasa
Menggambarkan rasa getir

Dia tak bergerak
Hanya kaku pada pahitnya
Bukan lagi lidah yang mampu mengecap
Namun hati yang kini berucap
Pulanglah
Cairkan getirku
dan maniskan secangkir tehku

#3
Mampukah aku berjalan tanpa mimpi?
Semua menjadi buram
semenjak kau tinggalkan kopimu
Bukankah baru saja hitamnya kau seduh?
Kini kau tinggalkan pada pahit
hingga getir meninggikan arogannya

Tak setetes pun mampu ku cicipi
Memandangnya saja aku rapuh
Kopimu tak mampu ku gapai
Apalagi hatimu?

Mimpiku terenggut bersama pergimu
Namun aku harus tetap berjalan
pada pagi dan malammu
pada terang dan gelapmu
Mampukah aku?
Sedangkan kau tinggalkan aku
hanya bersama seduhan kopimu

#4
Ucapku terbatas pada diammu
Iramaku teredam oleh sunyimu
Langkahku terhenti oleh pergimu
Dan cintaku tertahan pada pengkhianatanmu

Hidup memang akan berakhir
Dunia pun tak bertengger selamanya
Tapi tidak bolehkah hati bersuara?
Memanggil pemiliknya kembali menyapa

Mungkin memang takdir sedang murka
Memisahkan apa yang baru dimulai
Mengakhiri semua yang akan tercipta
Dan membungkam rasa dalam sakitnya

Adakah di sana kamu merasakannya?
Saat dingin menjadi sunyi
Dan hujan menambah duka
Menyiratkan tatapanmu yang tak mampu bertahan
Dan menjadikan senyummu sebatas luka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar